Caution: Desperate Entry Ahead
Minggu depan ada tugas buat surat lamaran.. dan aku baru sadar tadi bahwa aku sama sekali nggak tahu aku bakal nulis apa di bagian Objective alias posisi pekerjaan yang aku inginkan. Dalam sebuah survey yang kukerjakan beberapa waktu lalu, ada empat pilihan karir yang kutemukan menjadi minatku:
- Jurnalis
- Penulis skenario film
- Novelis
- Penerjemah
Mengingat sekarang aku sudah punya pekerjaan sebagai penerjemah, jadi itu tidak bisa menjadi Objective surat lamaranku. Dan setelah mengetahui kenyataan dunia jurnalistik yang sebenarnya, aku baru menyadari aku tidak punya mental seorang jurnalis. Mendengarkan cerita-cerita anak jurnal aja bisa bikin aku merinding, apalagi benar-benar melakukannya? Untunglah aku pindah konsentrasi.. yang membuatku tersadar juga bahwa 90% sebab aku memutuskan untuk pindah konsentrasi adalah karena aku bermaksud melarikan diri dari tujuan semula yang kemudian kusadari.. I'm not made for that kind of job. I'm not capable of all the hard work. Ya, aku memang seorang pekerja keras, tapi hanya di bidang yang kusukai. Dan aku sudah memutuskan bahwa dunia jurnalistik yang kubayangkan dengan dunia jurnalistik yang sebenarnya adalah dua dunia yang sama sekali berbeda. Which, again, I'm not prepared for.
Jadi, intinya jurnalis bisa dicoret dari daftar. Yang tersisa adalah penulis skenario film. Aku nggak yakin penulis skenario film perlu melamar kerja, tapi yang pasti novelis tidak membutuhkan surat lamaran. Mungkin novelis memang karir yang paling cocok buatku. Di rumah, in my peaceful setting, in my peaceful loneliness. Without having to deal with a lot of people and all that stressing life stuff. Hidup yang tenang, persis seperti yang kuinginkan. Kelihatannya hanya seperti fantasi saat ini, karena terlalu nyaman, terlalu enak, dan hidup itu nggak pernah seenak itu. Tapi well, aku akan mencoba mewujudkannya. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan, kan?
Tapi ini masih tetap tidak menyelesaikan permasalahan tugas surat lamaranku. Kemudian terpikir lagi olehku, apa pekerjaan yang sepertinya sempurna bagiku. Dan terbersitlah satu posisi yang lebih tinggi dari posisiku sekarang: Editor. Aku pernah berpikir aku nggak pengen jadi Editor, karena kerjanya repot. Harus baca buku versi asli, kata per kata, kemudian baca versi terjemahannya. Lalu meng-edit seluruhnya dari awal hingga akhir. Capek banget, dan nggak bisa sambil menikmati ceritanya seperti yang dilakukan seorang penerjemah. Tapi kemudian aku teringat perkataan dosenku tadi pagi... aku ini seorang perfeksionis sejati. (Yang aku masih terheran-heran dari mana dia tau?! Ini agak mengerikan. Masalahnya aku nggak pernah menunjukkan sikap perfeksionis dalam bidang akademik. Sungguh. Aku kan tipe anak-selalu-ranking-tapi-males-banget-dan-sukanya-ngapal-bahan-beberapa-jam-sebelom-ulangan.) Saking perfeksionisnya sampe temen-temen chattingku suka bikin screencap setiap kali aku bikin typo (yang menurut mereka hanya terjadi beberapa tahun sekali) buat barang bukti trus diketawain sepuas-puasnya. Ya, aku memang perfeksionis. Ya, I can relate to Bree Van De Kamp.
Dan editor... editor membutuhkan seseorang yang perfeksionis. Pekerjaan editing adalah pekerjaan menyempurnakan. Pekerjaan editing adalah pekerjaan untuk memastikan segalanya beres, sempurna, tanpa cacat, membereskan bagian-bagian yang salah atau kurang tepat. Editor adalah pekerjaan sempurna untuk seorang perfeksionis. Aku seharusnya menjadi seorang editor. Inikah panggilan hidupku yang sebenarnya?
Tapi... aku harus melamar jadi Editor apaan? Dan tambahan lagi, apa sih yang sedang kukerjakan di jurusan Ilmu Komunikasi?
- Jurnalis
- Penulis skenario film
- Novelis
- Penerjemah
Mengingat sekarang aku sudah punya pekerjaan sebagai penerjemah, jadi itu tidak bisa menjadi Objective surat lamaranku. Dan setelah mengetahui kenyataan dunia jurnalistik yang sebenarnya, aku baru menyadari aku tidak punya mental seorang jurnalis. Mendengarkan cerita-cerita anak jurnal aja bisa bikin aku merinding, apalagi benar-benar melakukannya? Untunglah aku pindah konsentrasi.. yang membuatku tersadar juga bahwa 90% sebab aku memutuskan untuk pindah konsentrasi adalah karena aku bermaksud melarikan diri dari tujuan semula yang kemudian kusadari.. I'm not made for that kind of job. I'm not capable of all the hard work. Ya, aku memang seorang pekerja keras, tapi hanya di bidang yang kusukai. Dan aku sudah memutuskan bahwa dunia jurnalistik yang kubayangkan dengan dunia jurnalistik yang sebenarnya adalah dua dunia yang sama sekali berbeda. Which, again, I'm not prepared for.
Jadi, intinya jurnalis bisa dicoret dari daftar. Yang tersisa adalah penulis skenario film. Aku nggak yakin penulis skenario film perlu melamar kerja, tapi yang pasti novelis tidak membutuhkan surat lamaran. Mungkin novelis memang karir yang paling cocok buatku. Di rumah, in my peaceful setting, in my peaceful loneliness. Without having to deal with a lot of people and all that stressing life stuff. Hidup yang tenang, persis seperti yang kuinginkan. Kelihatannya hanya seperti fantasi saat ini, karena terlalu nyaman, terlalu enak, dan hidup itu nggak pernah seenak itu. Tapi well, aku akan mencoba mewujudkannya. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan, kan?
Tapi ini masih tetap tidak menyelesaikan permasalahan tugas surat lamaranku. Kemudian terpikir lagi olehku, apa pekerjaan yang sepertinya sempurna bagiku. Dan terbersitlah satu posisi yang lebih tinggi dari posisiku sekarang: Editor. Aku pernah berpikir aku nggak pengen jadi Editor, karena kerjanya repot. Harus baca buku versi asli, kata per kata, kemudian baca versi terjemahannya. Lalu meng-edit seluruhnya dari awal hingga akhir. Capek banget, dan nggak bisa sambil menikmati ceritanya seperti yang dilakukan seorang penerjemah. Tapi kemudian aku teringat perkataan dosenku tadi pagi... aku ini seorang perfeksionis sejati. (Yang aku masih terheran-heran dari mana dia tau?! Ini agak mengerikan. Masalahnya aku nggak pernah menunjukkan sikap perfeksionis dalam bidang akademik. Sungguh. Aku kan tipe anak-selalu-ranking-tapi-males-banget-dan-sukanya-ngapal-bahan-beberapa-jam-sebelom-ulangan.) Saking perfeksionisnya sampe temen-temen chattingku suka bikin screencap setiap kali aku bikin typo (yang menurut mereka hanya terjadi beberapa tahun sekali) buat barang bukti trus diketawain sepuas-puasnya. Ya, aku memang perfeksionis. Ya, I can relate to Bree Van De Kamp.
Dan editor... editor membutuhkan seseorang yang perfeksionis. Pekerjaan editing adalah pekerjaan menyempurnakan. Pekerjaan editing adalah pekerjaan untuk memastikan segalanya beres, sempurna, tanpa cacat, membereskan bagian-bagian yang salah atau kurang tepat. Editor adalah pekerjaan sempurna untuk seorang perfeksionis. Aku seharusnya menjadi seorang editor. Inikah panggilan hidupku yang sebenarnya?
Tapi... aku harus melamar jadi Editor apaan? Dan tambahan lagi, apa sih yang sedang kukerjakan di jurusan Ilmu Komunikasi?
0 Comments:
Post a Comment
<< Home